Kehidupan kaum salaf menjadi lurus dan Allah mencegah terjadinya dekadensi dan penyelewengan dalam rumah tangga mereka serta menghindarkan mereka dari kerusakan perselisihan. Semua itu tidak terlepas dari peran istri yang shalehah...
Akhirnya jadilah mereka pemberi petunjuk yang mendapat hidayah. Mereka memusatkan seluruh daya kemampuan mereka untuk amal yang bermanfaat. Mereka menyedikitkan bekal duniawi semampunya, tapi menggunakan sebagian besar waktu mereka dalam ketaatan dan ibadah.
Mereka mengenal hakikat dunia dan bekerja sama dalam kebaikan dan ketakwaan. Maka, sejarah pun mencatat kisah-kisah yang positif dan bermanfaat dari mereka, dalam lembaran-lembaran yang putih gemilang.
Keluarga muslim waktu itu menjadi contoh yang diteladani dan dijadikan orang sebagai perumpamaan yang baik. Setiap individu dari mereka mempunyai posisi yang terhormat, sikap yang baik, dan sifat yang mulia.
Berikut ini sejumlah wanita mulia, yang merupakan contoh teladan sebagai istri-istri yang ideal.
1) Fatimah az-Zahra dan Keteladannya dalam Kerja Sama dengan Suami
Dikisahkan bahwa di rumah Ali bin Abi Thalib ada lima orang, yaitu Ali, Fatimah, Hasan, Husain, dan Harits (pembantu mereka). Pada suatu malam mereka belum makan, sehingga mereka tidur sambil menahan lapar. Begitu pagi tiba, Fatimah segera menyodorkan selendangnya kepada Ali untuk dijual agar mereka bisa makan dengan hasil penjualannya. Ali lalu menjualnya seharga enam dirham.
Ketika di tengah jalan menuju rumahnya, ia menjumpai sekelompok orang yang hampir mati kelaparan. Maka, Ali mengutamakan mereka atas diri dan keluarganya dengan menyerahkan keenam dirham itu pada mereka. Belum jauh ia melewati mereka, datanglah kepadanya seorang lelaki yang menuntun unta dan mengucapkan salam kepadanya lalu berkata, "Wahai Abul Hasan, maukah kau membeli unta ini?" Ali menjawab, "Mau kalau aku punya uang." Lelaki itu berkata, "Ambillah dengan harga belakangan. Bayarkanlah ketika Allah membuka pintu rezeki untukmu." Ali bertanya, "Berapa kau jual?" Ia menjawab, "Seratus dirham." Maka, Ali membelinya dan memegang kendalinya lalu pergi.
Kemudian ia bertemu lagi dengan seorang lelaki lain dan berkata padanya, "Apakah kau menjual unta ini wahai Abul Hasan?" Ali menjawab, "Ya." Pria itu bertanya, "Berapa harga kau membelinya?" Ali menjawab, "Seratus dirham." Ia berkata, "Aku membelinya darimu dengan keuntungan enam puluh dirham." Maka, Ali menjual unta itu kepadanya dan ia menerima uangnya. Lalu ia pergi menuju rumahnya.
Di jalan, ia berjumpa dengan lelaki pertama. Ia bertanya padanya, "Di mana untanya wahai Abul Hasan?" Ali menjawab, "Aku telah menjualnya." Orang tersebut berkata, "Kalau begitu, berikan hakku!" Maka, Ali menyerahkan seratus dirham kepadanya, sehingga tersisa enam puluh dirham di tangannya.
Ia segera menuju rumahnya dan menuangkan uang itu di kamar Fatimah lalu mengisahkan padanya kejadian tersebut seraya berkata, "Aku bertransaksi dengan Allah dengan enam dirham. Maka, Dia memberiku enam puluh dirham. Setiap satu dirham dengan sepuluh." Fatimah berkata, "Jangan kau makan dengan harta ini sampai kau ceritakan ini pada Rasulullah."
Lalu mereka menemui Rasulullah dan menceritakan kisah tersebut. Maka, Rasulullah tersenyum. Beliau bersabda, "Bergembiralah wahai Ali. Engkau berdagang dengan Allah sehingga Dia memberimu keuntungan. Si penjual itu adalah Jibril. Yang membeli adalah Mikail. Sedangkan, unta itu adalah tunggangan Fatimah di surga. Wahai Ali, engkau dikaruniai tiga hal yang tidak diberikan kepada selain engkau. Kau mempunyai istri (yang merupakan) tuan penduduk surga, dua anak (yang merupakan) dua tuan penduduk surga, dan kau mempunyai mertua (yang merupakan) tuannya para rasul. Maka, bersyukurlah kepada Allah atas apa yang ia berikan, dan pujilah ia atas apa yang ia karuniakan padamu."
2) Ummu Aiman dan Tindakan yang Bijaksana
Anas bin Malik, dalam riwayat Bukhari, mengatakan bahwa seorang anak dari Abu Thalhah mengeluh (sakit), dan ia meninggal ketika Abu Thalhah di luar rumah. Ketika istrinya melihat bahwa anak itu telah meninggal, ia mempersiapkan makanan dan meletakkan (anaknya itu) di sisi rumah. Ketika Abu Thalhah datang, ia bertanya, "Bagaimana kondisi anak itu?" Istrinya berkata, "Napasnya telah tenang dan aku berharap ia telah bisa istirahat." Abu Thalhah mengira bahwa istrinya itu jujur.
Kemudian Abu Thalhah tidur malam itu dan ketika pagi ia mandi (junub). Ketika ia hendak keluar, istrinya memberitahunya bahwa anaknya telah meninggal. Maka, Abu Thalhah shalat (Subuh) bersama Nabi saw. dan ia beritahukan tindakan istrinya itu pada beliau. Rasulullah bersabda, "Semoga Allah memberkahi untuk kalian pada malam kalian tersebut."
Sufyan mengatakn bahwa seorang lelaki dari Ansar berkata, "Maka aku menyaksikan mereka berdua memiliki sembilan anak. Semuanya hafal Al-Qur`an." Dalam riwayat Muslim, disebutkan bahwa Ummu Aiman berkata pada suaminya, "Wahai Abu Thalhah, bagaimana pendapatmu kalau suatu kaum memberikan pinjaman kepada satu keluarga. Apakah mereka berhak menolak (mengembalikannya)?" Ia berkata, "Tidak." Istrinya berkata, "Maka, bersabarlah atas anakmu!"
Dalam sebagian riwayat ada yang menyatakan bahwa ketika itu Abu Thalhah sedang berpuasa, dan Ummu Aiman mengutus Anas untuk mencarinya tanpa memberitahukan perihal putranya yang wafat. Hal itu karena kebijaksanaan dan keagungan pekertinya yang luar biasa. Ia tidak ingin mengejutkan suaminya dengan berita buruk itu sehingga bersedih. Selain itu, ia juga ingin mempersiapkannya untuk bersabar. Karena itu, ia mengajukan pertanyaan yang bisa dipahami bahwa segala nikmat itu dari Allah. Jadi, nikmat itu adalah pemberian dan pinjaman dari Allah yang pada suatu hari pasti akan diambil-Nya kembali.
3) Istri Qadi Syuraih
As-Sya'bi menceritakan dari Qadi Syuraih bahwa ia membangun rumah tangga dengan seorang wanita dari Bani Tamim yang bernama Zainab. Kisah ini panjang dan diceritakan oleh Ustadz kami Doktor Muhammad Ibrahim al-Juyusyi dalam buku A'lamul Qadla' fil Islam. Kami memotong peristiwanya setelah si wanita pindah ke rumah Qadi Syuraih. Ia berkata pada istrinya ketika rumah telah dikosongkan untuk mereka berdua, "Wahai kamu ini. Termasuk Sunnah jika seorang wanita masuk rumah bersama lelaki hendaknya shalat dua rakaat." Maka, mereka shalat dua rakaat dan meminta kepada Allah kebaikan malam itu bagi mereka dan berlindung kepada Allah dari kejelekannya.
Qadi Syuraih bercerita, "Maka, aku shalat. Aku menoleh, dan ternyata ia di belakangku. Aku shalat lagi, dan dia berada di atas ranjangnya. Aku lalu mengulurkan tanganku. Ia berkata, 'Tunggu. Segala puji bagi Allah. Aku memuji-Nya dan meminta pertolongan-Nya. Aku adalah wanita asing. Demi Allah, aku tidak pernah menempuh perjalanan seberat ini. Sementara kau adalah lelaki asing. Aku tidak mengenal akhlakmu.
Maka, beritahukanlah aku tentang apa yang kau senangi agar aku mengerjakannya dan apa yang kau benci agar aku menjauhinya.' Aku berkata, 'Alhamdulillah dan shalawat atas Nabi Muhammad saw.. Kau datang dengan cara paling baik. Kau datang kepada penghuni daerah yang suamimu adalah tuan lelaki mereka, dan kau adalah tuan wanita mereka. Aku menyukai ini dan membenci itu.' Ia berkata, 'Beritahukanlah aku tentang mertuamu. Apakah kau suka kalau mereka mengunjungimu?' Aku berkata, 'Aku adalah seorang hakim. Aku tidak senang kalau mereka bosan kepadaku.'
Maka malam itu aku berada pada malam yang paling indah. Aku berdiam bersamanya tiga hari. Lalu aku keluar ke majelis pengadilan. Aku tidak menyaksikan suatu hari kecuali lebih indah dari yang sebelumnya.
Ketika ibunya mengunjunginya di akhir tahun, ia berkata padaku, 'Wahai Abu Umayyah, bagaimana istrimu?' Aku berkata, 'Sebaik-baik wanita.' Ia berkata, 'Seorang wanita tidak pernah terlihat berakhlak lebih buruk daripada di dua kondisi, ketika mendapat jodoh dan ketika melahirkan seorang anak.
Kalau pada dirinya ada yang meragukanmu, maka siapkan cambuk. Sesungguhnya kaum lelaki tidak pernah memasukkan ke rumah mereka yang lebih buruk daripada wanita yang dungu dan tak pandai bekerja.' Aku berkata, 'Aku bersaksi bahwa ia adalah putrimu. Berkat engkau kami tidak perlu mengajarnya. Engkau telah mendidik dengan baik.' Maka, ibunya itu setiap tahun datang kepada kami dan mengatakan hal itu lalu pergi."
Demikianlah Syuraih menempuh kehidupan yang bahagia dan menyenangkan ini. Ia mendapatkan kenikmatan yang besar dan menemukan tempat ketenangan jiwa di mana ia berpikir dan merenung. Jadilah kehidupannya penuh dengan pikiran yang tajam, keputusan yang adil, dan ucapan yang benar. Kehidupannya tidak dibuat keruh dengan tingkah istri yang dungu. Malamnya ia tidak harus terpaksa begadang karena keributannya. Ia juga tidak menzalimi dirinya dengan emosinya yang membara, kemarahannya yang meluap, hatinya yang penuh kedengkian, dan agamanya yang kurang.
Dari kisah ini jelas bagi kita, bagaimana seorang istri yang salehah membuat rumah tangga menjadi bahagia dan tenang, dan menimbulkan kemampuan berkarya. Rumah Kadi Syuraih merupakan surga yang teduh. Ia menemukan di sana keamanan, ketenangan, dan kedamaian ketika pulang untuk beristirahat dari lelahnya tugas siang hari, dan ributnya orang-orang yang berperkara dan berselisih. Ini barangkali rahasia mengapa Kadi Syuraih menjadi perumpamaan dalam keputusan dan keadilannya, serta kejelian pikiran dan ketajaman otaknya.
Itu adalah sejumlah contoh nyata untuk menjadi teladan bagi para istri mengenai kebersamaan mereka dengan suami dalam mengarungi bahtera rumah tangga dan menanggung beban kehidupan. Kisah di atas memperlihatkan kepada kita bagaimana wanita mencari ridha Allah dalam rezeki yang ditunjukkan oleh suami padanya. Juga menunjukkan bagaimana berusaha mewujudkan rasa kedamaian padanya dengan segala bentuk dan sarana. Khususnya, jika kedudukan suami sangat vital dan memerlukan pikiran yang jernih agar bisa berkarya, misalnya hakim.
Selayaknya bagi seorang muslim menampakkan aspek-aspek ideal ini dalam lingkungan keluarganya, istri dan anak-anaknya. Ia memperbaiki contoh-contoh itu di mata mereka agar istri melaksanakan tugasnya dalam membina dan mendidik (anak) dengan baik, anak-anak wanita mencontoh ibu mereka, dan anak-anak lelaki berusaha agar sifat-sifat seperti itu terpenuhi dalam diri istri mereka. Dengan demikian, bersambunglah mata rantai generasi. Itu pasti lebih baik bagi keluarga dan para pendidik daripada terpaku pada kisah-kisah novel dan film-film amoral serta cerita-cerita porno yang laku keras di tengah manusia karena disertai berbagai sarana penggoda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar